Welcome to my Blog thanks for you visit

Halaman

Minggu, 23 Juni 2013

KEBUDAYAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan bekas (Negara) Kesultanan Yogyakarta dan [Negara] Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.

Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering terjadinya penyingkatan nomenkaltur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini sering diidentikkan dengan Kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat disebut dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta. Walaupun memiliki luas terkecil ke dua setelah Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional dan internasional. Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah terparah akibat bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006 dan erupsi Gunung Merapi pada medio Oktober-November 2010.
 
Pariwisata
 
Pariwisata merupakan sektor utama bagi DIY. Banyaknya objek dan daya tarik wisata di DIY telah menyerap kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Bentuk wisata di DIY meliputi wisata MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition), wisata budaya, wisata alam, wisata minat khusus dan berbagai fasilitas wisata lainnya, seperti resort, hotel, dan restoran. Keanekaragaman upacara keagamaan dan budaya dari berbagai agama serta didukung oleh kreativitas seni dan keramahtamahan masyarakat, membuat DIY mampu menciptakan produk-produk budaya dan pariwisata yang menjanjikan.

Secara geografis, DIY juga diuntungkan oleh jarak antara lokasi objek wisata yang terjangkau dan mudah ditempuh. Sektor pariwisata sangat signifikan menjadi motor kegiatan perekonomian DIY yang secara umum bertumpu pada tiga sektor andalan yaitu: jasa-jasa; perdagangan, hotel dan restoran; serta pertanian. Dalam hal ini pariwisata memberi efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi sektor perdagangan disebabkan meningkatnya kunjungan wisatawan. Selain itu, penyerapan tenaga kerja dan sumbangan terhadap perekonomian daerah sangat signifikan.
 
Kebudayaan
DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fisik) maupun yang intangible (non fisik). Potensi budaya yang tangible antara lain kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan potensi budaya yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.

DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari keberadaannya, merupakan embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya dan beradat tradisi. Selain itu, Provinsi DIY juga mempunyai 30 museum, yang dua di antaranya yaitu Museum Ullen Sentalu dan Museum Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional

Aspek Seni
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak sekali kesenian. Baik itu kesenian budaya seperti tari-tarian ataupun seni kerajinan seperti batik, perak, dan wayang.

1)Batik
Batik adalah salah satu kerajinan khas Indonesia terutama daerah Yogyakarta. Batik yogya terkenal karena keindahannya, baik corak maupun warnanya. Seni batik sudah ada diturunkan oleh nenek moyang, hingga saat ini banyak sekali tempat-tempat khusus yang menjual batik ini. Perajin batik banyak terdapat di daerah pasar ngasem dan sekitarnya.

Kata “batik” berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: “amba”, yang bermakna “menulis” dan “titik” yang bermakna “titik”.

Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 oktober 2009.

Alat Musik Tradisional Di Indonesia

 
Indonesia adalah Negara yang kaya akan budaya, salah satu di antaranya adalah alat musik daerah yang banyak tersebar dipelosok negri dengan berbagai bentuk dan bahannya.
Untuk itu saya akan sedikit share tentang nama-nama alat musik daerah yang ada di Indonesia, lumayan buat tambah-tambah pengetahuan terutama buat para pelajar di seluruh Indonesia.
Berikut ini daftarnya:

1. ANGKLUNG : Alat musik dari Jawa Barat yang terbuat dari Bambu.
2. ANAK BECING : Alat musik yang berupa dua batang logam seperti pendayung, berasal dari Sulawesi Selatan.
3. ALOSU : Alat musik yang berupa kotak anyaman daun kelapa. Di dalamnya berisi biji-biji, berasal dari Sulawesi Selatan.
4. ATOWO : Sejenis genderang berasal dari Papua.
5. ARUMBA : Alat musik yang dari bambu berasal dari Jawa Barat.
6. ARAMBA : Alat musik yang bentuknya seperti bende berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara.
7. BASA BASI : Alat musik sejenis terompet yang terbuat dari bambu yang dipasang rangkap, berasal dari Sulawesi Selatan.
8. BABUN : Alat musik sejenis kendang yang berasal dari Kalimantan Selatan.
9. CALUNG : Alat musik yang terbuat dari Bambu berasal dari Jawa Barat.
10. CUNGKLIK : Alat musik sejenis kulintang yang terbuat dari kayu, berasal dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
11. DOLI-DOLI : Alat musik yang berupa empat bìlah kayu lunak berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara.
12. DOG-DOG : Alat musik sejenis genderang yang berasal dari Jawa Barat.
13. DRURI DANA : Alat musik berupa bambu yang dikerat seperti garpu penala, berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara.
14. FARITIA : Aramba kecil yang berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara.
15. FLOIT : Seruling bambu yang berasal dari Maluku.
16. FOI MERE : Sejenis seruling yang berasal dari Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
17. GAMELAN BALI : Seperangkat alat musik yang berasal dari daerah Bali.
18. GAMELAN JAWA : Seperangkat alat musik yang berasal dari Jawa Tengah.
19. GAMELAN SUNDA : Seperangkat alat musik yang berasal dari Jawa Barat.
20. GARANTUNG : Alat musik yang berupa bilah-bilah kayu yang digantung, berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara.
21. GERDEK : Seruling tempurung yang berasal dari Dayak, Kalimantan.
22. GONRANG : Alat musik sejenis kendang yang berasal dari daerah Simalungun, Sumatera Utara.
23. HAPETAN : Alat musik sejenis kecapi yang berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara.
24. KECAPI : Gitar kecil dengan dua dawai yang terdapat di seluruh daerah di Indonesia.
25. KELOKO : Terompet kulit kerang yang berasal dari Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
26. KERE-KERE GALANG : Alat musik sejenis rebab yang berasal dari daerah Gowa, Sulawesi Selatan.
27. KESO-KESO : Senis Rebab yang berasal dari daerah Gowa, Sulawesi Selatan.
28. KINU : Sejenis seruling dari Pulau Roti.
29. KLEDI : Alat musik tiup yang berasal dari Kalimantan.
30. KOLINTANG : Alat musik berupa bilah-bilah kayu yang disusun di atas kotak kayu, berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.
31. LEMBANG : Seruling panjang yang berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan.
32. NAFIRI : Alat musik tiup yang berasal dari Maluku.
33. POPONDI : Alat musik petik yang berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan.
34. REBAB : Alat musik gesek yang berasal dari Jawa Barat.
35. SAMPEK : Sejenis gitar yang berasal dari Dayak, Kalimantan.
36. SASANDO : Alat musik petik yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.
37. SELUANG : Seruling bambu yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat.
38. SERUNAI : Alat musik tiup yang berasal dari Sumatera.
39. SITER atau CELEMPUNG : Alat musik petìk yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah.
40. TALINDO : Alat musik petìk yang berasal dari Sulawesi.
41. TALEMPOK PACIK : Alat musik pukul seperti gong kecil, berasal dari Sumatera Barat.
42. TIFA : Genderang kecil yang berasal dari Maluku dan Papua.
43. TOTOBUANG : Sejenis talempong, berasal dari Maluku.

Sejarah Reog (Ponorogo)

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.

Sejarah
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Pementasan Seni Reog
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang atau jathilan, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.

Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau Ganongan.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Asal usul Angklung

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.

Asal-usul
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Teknik permainan angklung
Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang angklung:
 
1)Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
2)Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
3)Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengeluarka nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).

Sementara itu untuk memainkan satu unit angklung guna membawakan suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang dipimpin oleh seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga empat angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan menyiapkan partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus dimainkan. Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang diminta konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus memperhatikan teknik sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya boleh dihentikan segera setelah nada berikutnya mulai berbunyi.

Kerajaan di Jawa Barat

Kerajaan di Jawa Barat
Kerajaan-kerajaan di Tanah Sunda merujuk kepada kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Tatar Pasundan (wilayah bagian barat pulau Jawa, sekarang provinsi Jawa Barat dan Banten) pada masa lalu sebelum berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1945. Kerajaan-kerajaan di Tanah Sunda terdiri dari:

1.    Salakanagara
Menurut naskah “Pustaka Rayja-rayja I Bhumi Nusantara”, kerajaan di pulau Jawa adalah Salakanagara (artinya: negara perak). Salakanagara didirikan pada tahun 52 Saka (130/131 Masehi). Lokasi kerajaan tersebut dipercaya berada di Teluk Lada, kota Pandeglang, kota yang terkenal dengan hasil logamnya (Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata panday dan geulang yang artinya pembuat gelang). Dr. Edi S. Ekajati, sejarawan Sunda, memperkirakan bahwa letak ibukota kerajaan tersebut adalah yang menjadi kota Merak sekarang (merak dalam bahasa Sunda artinya "membuat perak"). Sebagain lagi memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung Salak, berdasarkan pengucapan kata "Salaka" dan kata "Salak" yang hampir sama.
Adalah sangat mungkin bahwa Argyre atau Argyros pada ujung barat Iabadiou yang disebutkan Claudius Ptolemaeus Pelusiniensis (Ptolemy) dari Mesir (87-150 AD) dalam bukunya “Geographike Hypergesis” adalah Salakanagara.
Suatu laporan dari Cina pada tahun 132 menyebutkan Pien, raja Ye-tiau, meminjamkan stempel mas dan pita ungu kepada Tiao-Pien. Kata Ye-tiau ditafsirkan oleh G. Ferrand, seorang sejarawan Perancis, sebagai Javadwipa dan Tiao-pien merujuk kepada Dewawarman.
Kerajaan Salakanagara kemudian digantikan oleh kerajaan Tarumanagara.

Raja-Raja Salakanagara :
1)Dewawarman I (130 - 168 M)
- Seorang raja pelarian dari India yang menikah dengan Pohaci putri Aki Tirem, seorang tetua di Rajatapura
- Pusat pemerintahannya ada di Salakanegara di sekitar Banten Sekarang
- Gelarnya adalah Prabu Darmalokapala Dewawarman (H)Aji Rakja Gapura Sagara
- Wilayahnya meliputi propinsi banten sekarang ditambah Agrabintapura (Gunung Padang Cianjur) dan Apuynusa (Krakatau).

2)Dewawarman VIII (348 - 363 M)
- Bergelar Prabu Darmawirya Dewawarman

Kerajaan Salakanagara atau Kerajaan Rajatapura atau (Kota Perak) ialah salah satu kota yang tertua di Pulau Jawa, menurut Naskhah Wangsakerta. Tokoh awal yang berkuasa di sini ialah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemy pada tahun 150. Terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang (bahagian barat provinsi Banten kini), kota ini telah menjadi pusat pemerintahan dinasti Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII) sejak dari tahun 362.

2.    Tarumanagara
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Sumber Sejarah
Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

3. Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerjaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha,kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.
Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.

Catatan sejarah
Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno, dan catatan sejarah dari luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa belum begitu banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama kerajaannya, walau dalam berbagai sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada nama kawasan.Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan Pajajaran.

4. Kesultanan Banten
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.
 
5. Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

6. Kerajaan Islam Sumedang Larang
Sejarah Sumedang Larang
Seorang resi keturunan dari Galuh datang ke sebuah kawasan di pinggiran sungai Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang sekarang. Kehadiran Resi yang bernama Prabu Guru Aji Putih ini, membawa perubahan-perubahan dalam tata kehidupan masyarakat setempat, yaitu telah ada dan dirintis oleh Prabu Agung Cakrabuana sejak abad ke delapan.
Secara perlahan-lahan dusun-dusun sekitar pinggiran sungai Cimanuk diikat oleh struktur pemerintahan dan kemasyarakatan. hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung sebagai cikal bakal kerajaan Sumedang Larang di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang. Prabu Guru Aji Putih berputra Prabu Tajimalela. Menurut perbandingan generasi, dalam kropak 410, Prabu Tajimalela sezaman dengan tokoh Rgamulya (1340 - 1350) penguasa Kawali dan tokoh Suradewata, Ayah Batara Gunung bitung Majalengka.
Prabu Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Menurut cerita rakyat, kepemimpinan Prabu Tajimalela sangat menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, peternakan dipusatkan di paniis Cieunteung dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk (Situraja).
Pada masa kekuasaan pernah terjadi pemberontakan disekitar Gunung Cakrabuana yang dilakukan oleh Gagak Sangkur. Terjadilah perang sengit antara wadia balad Gagak Sangkur dengan Prabu Tajimalela dengan kemenangan di pihak Prabu Tajimalela dan Gagak Sangkur dapat ditaklukan.
Gagak Sangkur menyatakan ingin mengabdi kepada Prabu Tajimalela. Kemudian dilantik menjadi patih. Setelah itu, untuk menyempurnakan ilmunya Prabu Tajimalela meninggalkan Keraton untuk melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dan kukatan dari Yang Gaib, yang dikiaskan dalam ungkapan : Sideku sinuku tunggal mapat pancadria, diamparan boeh rarang, lelembutan ngajorang alam awang-awang, ngungsi angkeuhan nu can katimu.
Pada saat itulah kemudian ia tiba-tiba mengucapkan kata : Insun Medal Mandangan yang kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang. Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh Prabu Gajah Agung, yang berkedudukan di pinggir kali Cipeles dengan gelar Prabu Pagulingan sehingga daerah tersebut saat ini di kenal sebagai nama Ciguling termasuk wilayah Kecamatan Sumedang Selatan. Prabu Pagulingan digantikan oleh putranya dengan gelar Sunan Guling. Ia berputra bernama Ratnasih alias Nyi Rajamantri diperistri oleh Sribaduga Maharaja karena itu yang menggantikan Sunan Guling adalah adik Ratu Ratnasih bernama Mertalaya sebagai penguasa ke empat Sumedang Larang yang juga bergelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan putranya Tirta Kusumah yang dikenal dengan nama Sunan Patuakan. Kemudian digantikan oleh adiknya Sintawati atau lebih dikenal dengan Nyi Mas Patuakan. Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Gorenda, Raja Talaga putra Ratu Simbar Kecana dari Kusumalaya, putra Dea Biskala. Dengan demikian ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Gorenda mempunyai dua istri : Mayangsari Langlangbuana dari Kuningan dan Sintawati dari Sumedang. Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling ini, Sunan Gorenda dikaruniai seorang putri bernama Setyasih, yang kemudian bergelar Ratu Pucuk Umum.
Ratu Pucuk Umum menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri putra Pangeran Palakaran, putra Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Perkawinan Ratu Setyasih dengan Pangeran Santri inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang.
Dari perkawinan dengan Pangeran Santri, Ratu Pucuk Umum atau dikenal dengan nama Ratu Intan Dewata dikaruniai 6 (enam) orang putra, salah satunya Raden Angkawijaya, yang kemudian hari bergelar Prabu Guesan Ulun.
Pada 14 Syafar Tahun Jim Akhir kerajaan Padjajaran runtag (runtuh) akibat serangan laskar gabungan Islam Banten, Pangkungwati dan Angka. Runtuhnya Kerajaan Padjajaran waktu itu tidak lantas menyeret Sumedang Larang ikut runtuh pula, karena sebagai masyarakat Sumedang pada waktu itu sudah memeluk Islam. Dengan berakhirnya Kerajaan Sumedang, justru Sumedang Larang makin berkembang menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Padjajaran mengutus empat orang Kandagalante : Jayaperkosa, Sanghyang Hawu, Terong Peot, dan Nagganan untuk menyerahkan amanat kepada Prabu Geusan Ulun, yaitu pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya menjadi penerus Kerajaan Padjajaran Mahkota dan atribut Kerajaan Padjajaran dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun yang merupakan legalitas kebesaran Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus Padjajaran.
Prabu Geusan Ulun yang dinobatkan pada 22 April 1578 adalah merupakan Raja Sumedang Larang terakhir, karena setelah itu Sumedang Larang berada di bawah naungan kerajaan Mataram. Pangeran Ariasuradiwangsa dari Sumedang Larang sebagai penerus Geusan Ulun (putra dari Ratu Harisbaya) 1620 berangkat ke Mataram, untuk menyerahkan Sumedang Larang berada dibawah naungan Mataram. Dengan demikian sejak itulah Sumeang Larang terkenal dengan nama "Priangan" artinya berserah dengan hati yang suci. Kedudukan penguasa Sumedang Larang menjadi Bupati Wedana.

Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia

Ada banyak kerajaan bercorak Islam yang terdapat mulai dari Sumatra sampai Maluku.

a. Kerajaan Perlak
Perlak adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah kerajaan dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan Samudrar Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah.

Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).

Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang).

Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah.

Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.

Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.

b. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhok Semawe sekarang (pantai timur Aceh).

Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di Samudra Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti berikut.

(1) Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi negara maritim yang kuat di Selat Malaka.

(2) Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.

(3) Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.

Catatan lain mengenai kerajaan ini dapat diketahui dari tulisan Ibnu Battuta, seorang pengelana dari Maroko. Menurut Battuta, pada tahun 1345, Samudera Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke sana. Hal ini mengingat letak Samudera Pasai yang strategis di Selat Malaka. Mata uangnya uang emas yang disebur deureuham (dirham).

Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand. Dari Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan untuk mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya ialah Fatahillah. Ia adalah putra Pasai yang kemudian menjadi panglima di Demak kemudian menjadi penguasa di Banten.

c. Kerajaan Aceh
Kerajaan Islam berikutnya di Sumatra ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528), menjadi penting karena mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya Kerajaan Malaka.

Para pedagang kemudian lebih sering datang ke Aceh.
Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.

Sebagai sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada masa pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan, dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.

Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Aceh mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675). Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan teuku dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama’ah. Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.

Dalam bidang sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan internasional di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam.

Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran agama Islam. Pada sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari Singkil.

Keempat ulama ini sangat berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi juga sampai ke Jawa.

Dalam kehidupan ekonomi, Aceh berkembang dengan pesat pada masa kejayaannya. Dengan menguasai daerah pantai barat dan timur Sumatra, Aceh menjadi kerajaan yang kaya akan sumber daya alam, seperti beras, emas, perak dan timah serta rempah-rempah.

d. Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang dengan Peninggalannya
Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada akhir abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk berkembang menjadi kota besar dan pusat perdagangan. Dengan bantuan para ulama Walisongo, Demak berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.

Sebagai kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan oleh Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi daerah Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup berpengaruh di Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan. Karena memiliki bandar-bandar penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Raden Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka karena kepentingan Demak turut terganggu dengan hadirnya Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal.

Raden Patah kemudian digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521). Walau ia tidak memerintah lama, tetapi namanya cukup terkenal sebagai panglima perang yang berani.

Ia berusaha membendung pengaruh Portugis jangan sampai meluas ke Jawa. Karena mati muda, Adipati Unus kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan Trenggono (1521-1546). Di bawah pemerintahannya, Demak mengalami masa kejayaan. Trenggono berhasil membawa Demak memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1522, pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah menyerang Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Baru pada tahun 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut. Dalam penyerangan ke Pasuruan pada tahun 1546, Sultan Trenggono gugur.

Sepeninggal Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran. Terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen, saudara Sultan Trenggono yang seharusnya menjadi raja dan Sunan Prawoto, putra sulung Sultan Trenggono. Sunan Prawoto kemudian dikalahkan oleh Arya Penangsang, anak Pengeran Sekar Sedolepen.

Namun, Arya Penangsang pun kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono yang menjadi Adipati di Pajang. Joko Tingkir (1549-1587) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.

Kerajaannya kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajang.

Sultan Hadiwijaya kemudian membalas jasa para pembantunya yang telah berjasa dalam pertempuran melawan Arya Penangsang. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan menerima hadiah berupa tanah di daerah Mataram (Alas Mentaok), Ki Penjawi dihadiahi wilayah di daerah Pati, dan keduanya sekaligus diangkat sebagai bupati di daerahnya masing-masing. Bupati Surabaya yang banyak berjasa menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur diangkat sebagai wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya, dan Panarukan.

Ketika Sultan Hadiwijaya meninggal, beliau digantikan oleh putranya Sultan Benowo. Pada masa pemerintahannya, Arya Pangiri, anak dari Sultan Prawoto melakukan pemberontakan. Namun, pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Pangeran Benowo dengan bantuan Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya. Tahta Kerajaan Pajang kemudian diserahkan Pangeran Benowo kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan pusat Kerajaan Pajang ke Mataram.

Di bidang keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai pusat penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah, yaitu Masjid Demak.

Dalam bidang perekonomian, Demak merupakan pelabuhan transito (penghubung) yang penting. Sebagai pusat perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik. Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya yang cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.

e. Kerajaan Mataram dan Peninggalannya
Sutawijaya yang mendapat limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, di Mataram. Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.

Pemerintahan Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus karena diwarnai oleh pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di Kotagede (sebelah tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini selalu terjadi perang untuk menundukkan para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, seperti Bupati Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak. Namun, semua daerah itu dapat ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya ialah Surabaya dengan bantuan Sunan Giri.

Setelah Senopati wafat, putranya Mas Jolang (1601-1613) naik tahta dan bergelar Sultan Anyakrawati. Dia berhasil menguasai Kertosono, Kediri, dan Mojoagung. Ia wafat dalam pertempuran di daerah Krapyak sehingga kemudian dikenal dengan Pangeran Sedo Krapyak.

Mas Jolang kemudian digantikan oleh Mas Rangsang (1613-1645). Raja Mataram yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham ini kemudian lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai masa keemasan. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered. Wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Sultan Agung bercita-cita mempersatukan Jawa. Karena merasa sebagai penerus Kerajaan Demak, Sultan Agung menganggap Banten adalah bagian dari Kerajaan Mataram. Namun, Banten tidak mau tunduk kepada Mataram. Sultan Agung kemudian berniat untuk merebut Banten.

Namun, niatnya itu terhambat karena ada VOC yang menguasai Sunda Kelapa. VOC juga tidak menyukai Mataram. Akibatnya, Sultan Agung harus berhadapan dulu dengan VOC. Sultan Agung dua kali berusaha menyerang VOC: tahun 1628 dan 1629.

Penyerangan tersebut tidak berhasil, tetapi dapat membendung pengaruh VOC di Jawa.

Sultan Agung membagi sistem pemerintahan Kerajaan Mataram seperti berikut.

(1) Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).

(2) Negara Agung, daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).

(3) Mancanegara, daerah di luar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati.

(4) Pesisir, daerah pesisir. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati atau syahbandar.

Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan oleh Amangkurat I (1645-1677). Amangkurat I menjalin hubungan dengan Belanda. Pada masa pemerintahannya. Mataram diserang oleh Trunojaya dari Madura, tetapi dapat digagalkan karena dibantu Belanda.

Amangkurat I kemudian digantikan oleh Amangkurat II (1677-1703). Pada masa pemerintahannya, wilayah Kerajaan Mataram makin menyempit karena diambil oleh Belanda.

Setelah Amangkurat II, raja-raja yang memerintah Mataram sudah tidak lagi berkuasa penuh karena pengaruh Belanda yang sangat kuat. Bahkan pada tahun 1755, Mataram terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti:

Ngayogyakarta Hadiningrat (Kesultanan Yogyakarta) yang berpusat di Yogyakarta dengan raja Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I dan Kesuhunan Surakarta yang berpusat di Surakarta dengan raja Susuhunan Pakubuwono III. Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan Mataram.

Kehidupan sosial ekonomi Mataram cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram maju hampir dalam segala bidang, pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan Majapahit, muncul kebudayaan Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa, Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya upacara Grebeg, Sekaten. Karya kesusastraan yang terkenal adalah Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.

f. Kerajaan Banten
Kerajaan yang terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah. Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk memerintah di Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran Pasarean dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun 1522, Pangeran Saba Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hasanuddin diangkat menjadi Raja Banten.

Setelah Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten kemudian melepaskan diri dari Demak. Berdirilah Kerajaan Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin (1522- 1570). Pada masa pemerintahannya, pengaruh Banten sampai ke Lampung. Artinya, Bantenlah yang menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda. Para pedagang dari Cina, Persia, Gujarat, Turki banyak yang mendatangi bandar-bandar di Banten. Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan selain karena letaknya sangat strategis, Banten juga didukung oleh beberapa faktor di antaranya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) sehingga para pedagang muslim berpindah jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor lainnya, Banten merupakan penghasil lada dan beras, komoditi yang laku di pasaran dunia.

Sultan Hasanudin kemudian digantikan putranya, Pangeran Yusuf (1570-1580).
Pada masa pemerintahannya, Banten berhasil merebut Pajajaran dan Pakuan.
Pangeran Yusuf kemudian digantikan oleh Maulana Muhammad. Raja yang bergelar Kanjeng Ratu Banten ini baru berusia sembilan tahun ketika diangkat menjadi raja. Oleh sebab itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, Maulana Muhammad dibantu oleh Mangkubumi. Dalam tahun 1595, dia memimpin ekspedisi menyerang Palembang. Dalam pertempuran itu, Maulana Muhammad gugur.

Maulana Muhammad kemudian digantikan oleh putranya Abu’lmufakhir yang baru berusia lima bulan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Abu’lmufakhir dibantu oleh Jayanegara. Abu’lmufakhir kemudian digantikan oleh Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah. Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah kemudian digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692).

Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan Banten sebagai sebuah kerajaan yang maju dengan pesat. Untuk membantunya, Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1671 mengangkat purtanya, Sultan Abdulkahar, sebagi raja pembantu. Namun, sultan yang bergelar Sultan Haji berhubungan dengan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak menyukai hal itu berusaha mengambil alih kontrol pemerintahan, tetapi tidak berhasil karena Sultan Haji didukung Belanda. Akhirnya, pecahlah perang saudara. Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan. Dengan demikian, lambat laun Banten mengalami kemunduran karena tersisih oleh Batavia yang berada di bawah kekuasaan Belanda.

g. Kerajaan Cirebon
Kerajaan yang terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah didirikan oleh salah seorang anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah.

Syarif Hidayatullah membawa kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak mengirimkan pasukannya di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah memberikan bantuan sepenuhnya. Bahkan pada tahun 1524, Fatahillah diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah. Setelah Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah meminta Fatahillah untuk menjadi Bupati di Jayakarta.

Syarif Hidayatullah kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Pasarean. Inilah raja yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya.

Pada tahun 1679, Cirebon terpaksa dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Dengan politik de vide at impera yang dilancarkan Belanda yang pada saat itu sudah berpengaruh di Cirebon, kasultanan Kanoman dibagi dua menjadi Kasultanan Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian, kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon berhasil dikuasai VOC pada akhir abad ke-17.