Dalam kemelut peradaban, sebenarnya kita dapat menemukan pelbagai referensi bahwa peradaban sepertinya selalu berjalan di jembatan yang kecil, tipis, dan selalu saja pada posisi kritis, terancam untuk jatuh ke jurang yang menganga di kanan-kirinya. Katastrofi pada zaman Noah memusnahkan semua pembangkang. Dari Camus kita tahu bahwa sampar merenggut nyawa tanpa kecuali. Atau musibah cacar yang menimpa pedalaman Jawa yang, bagi Pram hanya menyisakan Surati. Letusan Gunung Krakatau memutus mata rantai generasi, dan seterusnya.
Modernisasi seakan lupa asal-usulnya, membabi-buta babad moyangnya (primitif). Semua yang harus cepat, hemat dan menguntungkan tak hiraukan jerit pohon yang ditebas demi perluasan pabrik, yang katanya juga untuk kesejahteraan, kurangi pengangguran. Trend baru berlomba-lomba menjadi penemu alat-alat modern untuk memudahkan pekerjaan, semakin mempercepat hilang ingatan manusia pada sahabat karibnya alam.
Niels Bohr dalam pernyataannya yang dikenal sebagai aforisme mengatakan, “Lawan setiap pikiran besar adalah pikiran besar lain”. Dan kita pun semakin tersentak-sentak dengan derasnya laju perkembangan ilmu pengetahuan.
Penemuan dan teori sains bermunculan dengan akselerasi frekuensi yang mencengangkan. Bisa jadi, rumus-rumus fisika yang kini masih diajarkan pada anak sekolahan di pelosok desa sudah menjadi kebenaran usang karena di suatu fasilitas riset internasional telah ditemukan hukum baru, yang mendeklarasikan diri sebagai kebenaran yang baru. Meskipun dengan ilmu pengetahuan, manusia –lebih tepatnya sebagian manusia– hidup lebih mudah, hal ini harus dibayar mahal dengan semakin banyaknya masalah kehidupan, atau lebih jauh lagi masalah peradaban, yang bermunculan.
Realitas empiris melalui sejarah peradaban (history of culture state) menunjukkan, dengan sains pulalah manusia mengintensifkan tragedi dan bencana alam. Aktivitas industri telah mengubah lingkungan hidup asri menjadi kondisi yang mengancam hajat dan hidup jutaan spesies dan organisme di muka bumi ini. Setiap industri akan menghasilkan polutan berbentuk Pb, CO, N, dan partikel-partikel berbahaya lainya (Fukuara, 1997). Lebih dari itu, dengan kemampuan perkembangan sains yang diikuti oleh turunan perkembangan segala sendi kehidupan telah menyebabkan krisis lingkungan yang sangat global, memusnahkan mutiara dunia (biodiversity) yang paling banyak di Brasil dan Indonesia.
Data dan fakta World Bank (2001), lebih dari 1.000 spesies tumbuhan dan hewan setiap tahun musnah akibat aktivitas industri serta turunan sains lainya, setidaknya menjadi bukti riil kejahatan sains terhadap lingkungannya. Sedangkan hutan dan sumber daya alam yang menghasilkan mineral dan energi juga mengalami krisis hebat. Ironisnya, setiap tahun berdasarkan catatan FAO antara 1992-1993, hutan Indonesia telah terjadi deforestasi 2,5 juta hektare per tahun. Artinya tiga kali lipat menjauhi rata-rata deforestasi dunia. Sehingga, World Resources Institute (WRI) pada awal tahun 1997 menyebutkan Indonesia telah kehilangan 72 persen hutan alamnya (Alikodra, 2004).
Isu pemanasan global sudah cukup lama di dengar, namun kenapa ya baru-baru ini saja wacana tersebut membumi, meski demikian masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa itu pemanasan global (global warming). Cukup mengerikan bila membaca artikel maupun menonton film “an inconvinient truth” karya mantan wakil presiden USA “Al Gore”. Kita semua boleh ngeri dan marah terhadap kerusakan alam.
Pemanasan global (global warming) adalah isu yang akan terus menghangat dalam beberapa dekade kedepan. Terakhir, isu pemanasan global juga mencuat dalam pertemuan umum pemimpin APEC di Sydney dan dimungkinkan menguat lagi dalam Sidang Umum PBB di New York tahun ini. Pemanasan global telah menjadi ancaman planet bumi, termasuk Indonesia.
Berbagai fakta mudah sekali ditemukan bahwa pemanasan global telah menyebabkan sedemikian banyak akibat bagi penduduk di planet bumi. Membesarnya lubang ozon yang seharusnya melindungi planet bumi dari sinar ultraviolet, naiknya ketinggian permukaan air laut sehingga mengancam ratusan juta manusia, meningkatnya suhu rata-rata bumi dan perubahan iklim global.
Ada satu artikel yang ditulis berdasarkan pada hasil simulasi numerik jangka panjang tentang apa yang akan terjadi jika laju penambahan gas rumah kaca terus bertambah di atmosfer Bumi. Dalam jangka panjang, ternyata Eropa akan semakin dingin jika pemanasan global terus berlangsung. Pertanyaannya adalah: “Apa yang menyebabkan Eropa akan semakin dingin?”
Untuk membahas masalah ini, sebelumnya anda perlu tahu tentang apa yang disebut dengan Great Ocean Conveyor Belt, yaitu sebuah sirkulasi laut global yang di dalam sirkulasi tersebut terjadi pemindahan energi panas yang diserap oleh laut dari daerah tropis -yang mengalami radiasi matahari yang relatif tetap setiap saat- ke daerah lintang menengah dan tinggi yang menerima energi radiasi matahari yang lebih sedikit berbeda pada saat musim dingin dan panas (akibat sumbu rotasi bumi yang membentuk sudut 23.5 derajat terhadap garis edarnya).
Akibat suhu yang dingin di sekitar kutub utara (Greenland), maka akan terjadi pembekuan air laut. Pembekuan air laut ini akan melepaskan garam yang terkandung di dalam air laut tersebut (oleh sebab itu, kenapa es di kutub tidak berasa asin karena garamnya tidak ikut membeku). Pelepasan garam ini akan menjadikan salinitas air laut menjadi lebih tinggi sehingga densitas air laut di sana pun menjadi lebih tinggi pula, akibatnya massa air laut akan turun (dikenal sebaga fenome sinking atau downwelling atau bisa juga disebut sebagai arus laut yang bergerak ke kedalaman). Kekosongan akibat turunnya massa air laut yang memiliki densitas yang besar tersebut akan diisi oleh massa air laut di sekitarnya, yaitu dari daerah lintang yang lebih rendah atau daerah tropis. Air laut di tropis yang hangat inilah yang menjadikan iklim di lintang menengah dan tinggi tetap cukup hangat.
Pemanasan global akan menyebabkan terjadinya pencairan es di kutub. Hal ini menyebabkan bertambahnya jumlah air, sehingga terjadi pengenceran air laut. Akibatnya, densitas air laut menjadi berkurang sehingga proses sinking atau downwelling pun akan melemah. Melemahnya proses ini akan mengurangi jumlah air hangat yang masuk dari daerah tropis. Akibat selanjutnya, iklim di lintang menengah dan tinggi tidak lagi sehangat sebelumnya, dan ini yang akan memicu terjadinya Eropa yang membeku dalam jangka panjang.
Berdasarkan akal manusia, segala sesuatu ada penyebabnya. Membekunya Eropa terjadi akibat pemanasan global. Pemanasan global sendiri terjadi akibat meningkatnya kadar CO2 di atmosfer. Meningkatnya CO2 di atmosfer terjadi akibat semakin "boros" dan "berlebihannya" manusia dalam beraktivitas, dalam mengeksploitasi alam. Dari sini, manusia bisa berintrospeksi diri dan hidup lebih bijaksana.
Jika Eropa membeku atau Indonesia banjir, tentu itu akan mengancam kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu, banyak ilmuwan yg tengah melakukan penelitian untuk mencari solusi agar hal itu jangan sampai terjadi. Mencari energi alternatif yang ramah lingkungan, mengurangi penggunaan bahan bakar minyak, melakukan efisiensi, menjaga kelestarian hutan dan lautan, adalah alternatif yg bisa dan tengah dilakukan oleh banyak negara maju di dunia. Protokol kyoto adalah salah satu keperdulian manusia akan masalah lingkungan (pemanasan global) yg tengah terjadi.
Sudah waktunya buat kita semua sadar dan memulai untuk sadar dan ramah terhadap lingkungan, mari bergerak bersama dan memberikan penyadaran kepada masyarakat, keluarga dan teman untuk hal tersebut.
Setidaknya kita semua bisa melakukan salah satunya :
1. Hemat energi
2. Gunakan produk ramah lingkungan
3. Stop penebangan hutan
4. Buang sampah pada tempatnya
5. Tanam pohon kembali
6. Hemat air
7. And many more...
Dengan melakukan salah satu dari di atas maka kita semua sudah dapat menyelamatkan bumi dari kehancuran, stop global warming sangat tidak mungkin, mengurangi dampak pemanasan global adalah jawaban yang mungkin.
Mengatasi pemanasan global bisa dimulai dari diri sendiri dengan bertanggung jawab atas tindakan yang kita lakukan setiap hari. Bersahabatlah dengan alam, selamatkan lingkungan sekitar. Karena boleh jadi hal kecil yang dilakukan oleh satu orang terlihat tidak banyak berarti, tapi kalau hal kecil itu diduplikasi oleh banyak orang akan menjadi hal yang luar biasa.
Selain Einstein adalah J.J. Roussou, salah satu tokoh peletak dasar pencerahan Eropa pernah mengatakan, sebuah pencerahan tidaklah bermakna apa pun bila terlepas dari nilai-nilai keimanan. Pengetahuan pun tak bermakna apa-apa bila tidak mengabdi kepada kemanusiaan.
Ilmu pengetahuan yang diketahui dan berkembang dalam peradaban manusia didasarkan pada apa yg diamati manusia dari ciptaan-Nya. Manusia mempelajari dan memahami alam ciptaan Allah berdasarkan pada akal yang telah dikaruniakan Allah kepadanya. Selanjutnya, dengan akalnya itu, manusia mencoba menyusun semuanya itu ke dalam teori-teori ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Tidak ada yang salah dengan semua itu.
Sumber
Jumat, 19 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar