Konsep keunggulan kompetitif dalam operasional perusahaan Pemberdayaan tunjang strategi korporat Salah satu hal penting dalam pengembangan sumber daya manusia, khususnya pemberdayaan, adalah penempatan pengembangan SDM dalam strategi korporat. Pemberdayaan akan terbentur seandainya berada di luar agenda strategi perusahaan. Salah satu hal penting dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM), khususnya pemberdayaan, adalah penempatan pengembangan SDM dalam strategi korporat. pemberdayaan (empowerment) akan terbentur seandainya berada di luar agenda strategi perusahaan. Penempatan pemberdayaan ini dapat terabaikan di perusahaan tanpa budaya korporat yang berorientasi manusia. Cukup memprihatinkan prilaku banyak perusahaan Indonesia yang kurang memperhatikan SDM. Ini tercermin antara lain dari rendahnya tingkat remunerasi, minimnya pelatihan dan pengembangan, kurang jelasnya jalur karier, dan rendahnya pemberdayaan karyawan. Pemikiran mengenai tenaga kerja murah dan 'keluar satu, masuk seribu' memperburuk perlakuan terhadap SDM. Sebaliknya, keraguan terhadap kapasitas karyawan untuk membuat keputusan strategis acapkali beralasan. Karyawan di lapisan rendah diragukan memiliki keterampilan konseptual sebagai dasar pengambilan keputusan, yang secara klasik harus dikuasai para pemegang jabatan manajerial. Penerapan pemberdayaan memerlukan kesiapan dan kompetensi karyawan karena harus memikul tanggung jawab dan tugas yang lebih berat. Nilai strategis Pemberdayaan memang menjadi bagian manajemen SDM sehingga berada pada tataran fungsional/operasional perusahaan. Dalam konsep keunggulan kompetitif, SDM menjalankan fungsi penunjang dalam mata rantai nilai bisnis yang diperkenalkan Michael Porter. Untuk menunjang strategi keunggulan biaya, program-program pemberdayaan relevan bagi peningkatan keunggulan biaya perusahaan. Namun pemberdayaan sebenarnya mengandung nilai-nilai strategis yang menentukan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif. Dua hal penting membenarkan pemikiran ini. Pertama, manajemen memperkenalkan pemberdayaan untuk mendorong terciptanya pemikiran dan gagasan strategis pada lapisan manajemen yang lebih rendah. Pembagian power dan pendelegasian wewenang ke karyawan mencerminkan keinginan manajemen puncak untuk mendorong karyawan di lapisan lebih rendah agar mampu membuat keputusan strategis di lapisannya. Salah satu persyaratan pemberdayaan adalah mengomunikasikan secara jelas visi perusahaan, sasaran bisnis, arah, dan manfaat yang diharapkan (bagi konsumen, perusahaan, dan karyawan secara individual). Pemberitahuan kepada karyawan apa yang harus dilakukan tanpa mengkomunikasikan 'mengapa' jarang memberi hasil signifikan. Kedua, pemberdayaan memerlukan pendekatan komprehensif untuk mengoptimasi sumber daya perusahaan. Pelibatan karyawan melalui manajemen partisipatif (total quality management) dalam proses pengambilan keputusan mencerminkan pendekatan tersebut. Dimasukkannya pemberdayaan dalam strategi korporat tetap penting. Strategi menjadi patokan atau pedoman kegiatan perusahaan. Pendekatan strategis dari pemberdayaan menunjukkan peran pemberdayaan yang lebih luas. Strategi pemberdayaan setidaknya berjalan seiring dengan strategi bisnis yang berfungsi untuk menjadi: 1. Sasaran dan tujuan jangka panjang manajemen. Alfred D. Chandler mengartikan strategi sebagai penentuan sasaran dan tujuan dasar jangka panjang dari perusahaan, dan penerapan serangkaian tindakan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang perlu untuk melaksanakan sasaran-sasaran ini. 2. Sumber keunggulan diferensial perusahaan yang menentukan keunggulan kompetitif perusahaan. Kenichi Ohmae mengartikan strategi sebagai cara di mana perusahaan berupaya mendiferensiasikan diri secara positif dari para pesaingnya dengan menggunakan kekuatan korporat untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara lebih baik. 3. Sumber kekuatan internal perusahaan dalam menghadapi persaingan bisnis. Ohmae menekankan pentingnya strategi yang sebenar-nya tidak lebih dari rencana aksi untuk memaksimalkan kekuatan perusahaan terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan bisnis. Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi, penulis buku The Knowledge-Creating Company, menunjukkan pentingnya unsur pemberdayaan dalam strategi perusahaan. Mereka mengangkat pendekatan strategi korporat, yang disebut resource-based approach dengan orientasi kompetensi, kapabilitas, keterampilan atau aset-aset strategis sebagai sumber keunggulan kompetitif perusahaan. Perang persaingan yang begitu dinamis menyebabkan perusahaan mengandalkan unsur-unsur di atas yang berasas pada proses belajar untuk beradaptasi dengan dinamika- perubahan bisnis. Namun pemberdayaan tetap berbeda dengan strategi. Pebisnis tetap membedakan wilayah strategis dari wilayah operasional manajemen. Wilayah strategis berada di lapisan puncak oraganisasi, sementara wilayah operasional di manajemen marketing, produksi/operasi, SDM, dan keuangan/akunting. pemberdayaan tentu berada dalam wilayah manajemen SDM yang menopang strategi korporat. Kegiatan manajemen fungsional mengacu pada strategi masing-masing fungsi menajemen di bawah visi dan strategi korporat. Sebaliknya, strategi korporat dirumuskan berdasarkan unsur-unsur fungsi manajemen dengan mempertimbangkan lingkungan bisnis. strategic Uses of Information Technology Isu efisiensi dengan menggunakan Teknologi Informasi (TI) pada perpustakaan tidak selalu mendapat respon positif dari semua pegawai perpustakaan. Keharusan untuk belajar sistem, metode dan teknologi baru juga bisa menjadi beban disamping bayang-bayang dimarahi oleh para pengunjung yang tidak puas dengan hambatan pelayanan pada awal-awal implementasi sistem, terlebih jika tidak dilakukan persiapan dan sosialisasi yang baik. Selain itu bukan tidak mungkin para pustakawan atau calon pustakawan akan melihat kecanggihan dari perpustakaan dengan format digital justru berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja di perpustakaan karena dapat meringkas perpustakaan konvensional yang biasanya memakan tempat seluas ribuah meter persegi serta membutuhkan ratusan pegawai menjadi sebuah komputer server yang dilengkapi dengan sistem otomasi. Selain itu pengalaman buruk pada praktek implementasi Teknologi Informasi di perpustakaan dan organisasi lain yang sering terjadi sacara gradual atau susul menyusul baik di sisi perangkat keras maupun perangkat lunak menyebabkan implementasinya sangat lambat dan bersifat tambal sulam. Masing masing proses menggunakan tools yang berbeda-beda antara satu fungsi dengan fungsi yang lainnya, sehingga bukan hanya menghasilkan sistem yang kurang efisien karena tidak terintegrasi satu sama lain antara bagian-bagiannya, akan tetapi di sisi pengguna (user) akan ada keharusan untuk memberikan lebih banyak waktu, usaha,dan kesabaran untuk melakukan penyesuaian dan penguasaan di tiap-tiap bagian yang berbeda tersebut. Walaupun sampai saat ini belum ada penolakan secara langsung dengan tindakan frontal semacam pemboikotan terhadap penerapan Teknologi Informasi, akan tetapi bukan tidak mungkin para pegawai akan merasa terbebani dan berefek pada penurunan semangat kerja. Beban disini tidak hanya karena harus belajar sesuatu yang baru sebagaimana dibahas diatas, tetapi juga ada kemungkinan beberapa pegawai yang tidak ingin berubah karena sudah nyaman dan cinta melakukan jenis pekerjaan yang telah bertahun-tahun ditekuninya. Isu lain yang tidak kalah besar pengaruhnya adalah kepastian terjadinya perubahan struktur organisasi yang akan mengakomodir kebutuhan sumber daya untuk untuk implementasi Teknologi Informasi ini. Namun kenyataan bahwa perpustakaan khususnya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) untuk menggunakan Teknologi Informasi sudah tidak bisa dielakkan lagi. Perkembangan data dan dokumen yang disimpan di perpustakaan saat ini pun sangat beragam, dimulai dari sisa pustaka tradisional yang dulu hanya terdiri dari kumpulan koleksi manuskrip, foto, buku tanpa katalog, kemudian setelahnya perpustakaan semi modern yang menggunakan katalog (index). Katalog mengalami metamorfosa menjadi katalog elektronik yang lebih mudah dan cepat dalam pencarian kembali koleksi yang disimpan di perpustakaan. Koleksi perpustakaan juga mulai dialihmediakan ke bentuk elektronik yang lebih tidak memakan tempat dan mudah ditemukan kembali. Ini jelas membutuhkan dukungan sistem dan infrastruktur Teknologi Informasi untuk bisa mengakomodasinya. Sedangkan untuk pekerjaan manajemen (teknik pengelolaan) seiring dengan semakin kompleksnya koleksi perpustakaan, data peminjam, transaksi dan sirkulasi koleksi perpustakaan, mendesak untuk terealisasinya penggunaan teknologi informasi untuk otomatisasi business process di perpustakaan. Sistem yang dikembangkan dengan pemikiran dasar bagaimana kita melakukan otomatisasi terhadap berbagai kegiatan bisnis dan manjerial di perpustakaan, yang saat ini dikenal dengan istilah sistem otomasi perpustakaan (library automation system). Berangkat dari hal ini semua maka perlu dicermati bahwa hadirnya Teknologi Informasi di PNRI tidak boleh disalahpahami hanya sebagai trend teknologi atau isu penunjang biasa, dengan persiapan seadanya dan didasari ikut-ikutan karena takut distempel ketinggalan jaman. Implementasi TI di PNRI haruslah disertai bekal pengetahuan, kesiapan materi, bekal keterampilan yang memadai dan rencana yang matang, karena jika tidak maka bisa dipastikan akan mengakibatkan pemborosan sumber daya dan energi, dan yang lebih parah malah justru mengarah ke penurunan tingkat pelayanan di PNRI. Semua hal diatas ditambah lagi tantangan untuk PNRI dalam mempersiapkan implementasi Teknologi Informasi yang tidak hanya diharapkan dapat meningkatakan pelayanan di internal PNRI, akan tetapi yang lebih besar adalah sebagaimna isi Keppres Nomor 11 tahun 1989 tentang Perpustakaan Nasional yang mengamanahkan beberapa tugas kepada PNRI dimana salah satunya adalah untuk menjadi pusat pengembangan sistem dan juga Sumber Daya Manusia (SDM) perpustakaan dalam rangka pembina semua jenis perpustakaan di Indonesia. Keharusan Menentukan Strategi dalam Implementasi TI Sebelum Teknologi Informasi diterapkan pihak pengambil keputusan harus yakin dan dapat meyakinkan semua pihak terutama para pustakawan bahwa Teknologi Informasi ini akan membawa PNRI lebih baik dan menguntungkan semua stakeholder-nya. Untuk mendapatkan keyakinan tersebut maka harus disusun strategi jitu untuk pengimplementasian Teknologi Informasi yang diharapkan bisa menjamin manfaat TI yang diperoleh akan sebanding dengan investasi yang ditanam, dan mengatasi permasalahan pertumbuhan teknologi yang sangat cepat. Di atas itu semua strategi Teknologi Informasi ini tentunya harus sejalan dengan strategi organisasi PNRI. Mengutip apa yang ditulis oleh Eko Indrajit[3] beberapa alasan kenapa perencanaan strategis harus dibuat, yang pertama adalah karena sumber daya yang dimiliki organisasi sangat terbatas, sehingga harus digunakan seoptimal mungkin. Kedua, untuk meningkatkan daya saing atau kinerja organisasi, karena para kompetitor memiliki sumber daya teknologi yang sama dan pembedanya nanti adalah siapa yang memiliki eksekusi terbaik. Alasan ketiga adalah untuk memastikan bahwa aset TI dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan profitabilitas organisasi, baik berupa peningkatan pendapatan (revenue) maupun pengurangan biaya-biaya (costs). Keempat adalah untuk mencegah terjadinya kelebihan investasi (over investment) atau kekurangan investasi (under investment) di bidang TI. Dan alasan terakhir adalah untuk menjamin bahwa TI yang direncanakan dan dikembangkan benar-benar menjawab kebutuhan bisnis organisasi. Tidak semua produk TI tergolong baik, dari sekian banyak produk yang ditawarkan, lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil. Sebab itu pada tahap persiapan dan perencanaan, akan dianalisa dan diusulkan beberapa skenario atau pilihan (options), dimana setiap skenario memiliki variabelnya masing-masing seperti biaya (costs), manfaat (benefits), resiko (risks), dampak (impacts), tingkat kesulitan (complexity), hambatan (constraints), dan hal-hal terkait lainnya. &nb sp; &nb sp; &nb sp; &nb sp; Para pengambil keputusan juga harus mempelajari arah dan perkembangan TI secara global agar tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan teknologi yang diterapkan dan dikembangkan di organisasi. Maka harus dilakukan pemilahan terhadap teknologi mana saja yang masih dalam tahap percobaan atau perkenalan (infancy/emerging), perkembangan (growth), stabil (mature), dan mulai ditinggalkan (facing out). Tentunya dalam pembuatan sistem jangka panjang dan perencanaan harus diperhatikan agar jangan sampai menggunakan metode atau teknologi yang sudah mengarah ke teknologi basi (facing out). Salah satu metode yang bagus adalah dengan melakukan penelitian terhadap penerapan Teknologi Informasi di perpustakaan-perpustakaan nasional di negara-negara lain, sehingga menjadi acuan bagi PNRI. Namun harus diingat bahwa suatu sistem yang berhasil di tempat lain belum tentu sesuai dan berhasil di tempat kita, karena tentunya ada beberapa kondisi dan karakteristik yang berbeda sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Salah satu dari unsur Teknologi Informasi tersebut adalah brainware, yang merupakan unsur paling kritikal melebihi unsur lainnya (software dan hardware). Jika diibaratkan hardware dan software adalah senjatanya, maka penentu utamanya tetap adalah man behind the gun yaitu dalam hal ini brainware. Manusia (brainware) yang akan mengimplementasikan sistem informasi yang dibangun, mengembangkan TI sejalan dengan perkembangan organisasi di masa mendatang, serta penentu srategi kebijakan TI itu sendiri. Oleh karena itu untuk tahap awal perlunya kita mengarahkan perhatian pada pembenahan faktor brainware dalam memulai penerapan TI di PNRI, sambil secara paralel melakukan persiapan dan perancangan sistem yang matang. Persiapan Implementasi Dimulai dari SDM Faktor terbesar penyebab kegagalan dari penerapan TI berasal dari kurang jelinya pengambil keputusan yang tidak memperhatikan adanya ekpektasi yang tidak relevan antara pengembang TI dan pihak pengguna. Pihak pengguna berharap sebuah sistem yang sempurna tanpa celah, serba bisa dan selalu lancar, sedangkan pengembang sistem tidak mau tahu kondisi dan kemampuan dari pengguna yang akan menggunakan teknologi tersebut. Penulis pernah terlibat proyek Sistem Informasi (SI) lengkap untuk perpustakaan pada sebuah lembaga pemerintah yang bisa dikatakan gagal. Pengembangan aplikasinya sendiri hampir tidak ada masalah, hal ini karena sudah ada beberapa contoh aplikasi SI yang digunakan di tempat lain bahkan beberapa termasuk Free Open Source Software (FOSS) dan sudah terbukti digunakan oleh perpustakaan-perpustakaan besar dan ternama di dalam dan luar negeri, beberapa aplikasi tersebut misalnya Open Biblio , OtomigenX yang dikembangkan KMRG ITB, Senayan dari Diknas ,dan lain-lain. Proyek ini kami nilai gagal karena waktu adaptasi dan pengaplikasian Sistem Informasi yang sangat lama dari pengguna, dimana beberapa bulan setelah tahap serah terima dan maintenance kami melakukan costumer retention dan mendapati pengguna masih lebih suka menggunakan metode manual. Walaupun kami sudah memenuhi semua request dari klien sebagaimana perjanjian proyek, akan tetapi ternyata baik kami sebagai pengembang dan pengambil keputusan dari pihak klien kurang memperhatikan kesiapan dari pihak pengguna yang akan bersentuhan langsung dengan SI tersebut. Oleh karena itu tentu akan sangat naif kalau PNRI untuk bisa memberi layanan berkelas menggunakan Teknologi Informasi, dengan jargon-jargon canggih seperti onliene access, digital library, dan lain-lain, jika SDM dari PNRI sendiri saja tidak terbiasa bahkan antipati dengan Teknologi Informasi ini sendiri. Tentunya kita juga tidak muluk-muluk mengharapkan semua SDM merupakan pakar atau ahli di bidang TI, akan tetapi setidaknya diharapkan semua SDM cukup terbiasa, senang dan tidak menolak hadirnya Teknologi Informasi tersebut. Terlebih lagi di era informasi saat ini dengan persaingan superkompetitif, organisasi yang kemampuan SDM-nya hanya diperbaiki sejalan dengan kemajuan teknologi, pasti akan ketinggalan terus. Apalagi jika organisasi sama sekali tidak mengusahakan adanya pembelajaran yang berkelanjutan bagi seluruh SDM di organisasinya, pasti tidak akan dilirik lagi oleh pihak luar karena cara-cara pelayanan yang sudah tidak tepat dan ketinggalan. Dengan demikian, organisasi dan SDM perlu saling bahu membahu untuk menerapkan paradigma pembelajaran yang berkelanjutan. Pembelajaran ini pun harus diusahakan dengan cepat agar mampu mengimbangi dari kecepatan belajar industri yang ditekuni. Hastings pernah merumuskan tentang kriteria sebagai pustakawan era digital dimana beberapa diantaranya adalah harus mampu berkembang dalam perubahan, belajar terus-menerus tetapi selektif, dan bereksprimen tanpa akhir, serta memiliki keuletan terhadap potensi dan kesukaran teknologi. Pada satu titik tertentu, inovasi teknologi mempengaruhi tidak hanya kompetensi teknis SDM, tetapi juga merangsang SDM dalam organisasi tersebut, yaitu bentuk asumsi dasar dan pola pandang SDM terhadap proses internal dan hubungan antar unit organisasi. Bahkan di saat investasi di bidang perangkat keras dan lunak sudah saatnya diganti, inovasi di SDM dapat berperan besar disini, termasuk menjawab tantangan menciptakan fungsi-fungsi layanan baru dan menciptakan jenis-jenis produk baru untuk PNRI khususnya dan perpustakaan pada umumnya yang jujur saja mulai ditinggalkan masyarakat. Dengan kesiapan dari SDM maka resiko kegagalan implementasi TI akan dapat ditekan. Faktor ketidakcocokan budaya dan keterbatasan keahlian bahkan seharusnya bisa mulai diatasi dari tahap perencanaan. Peningkatan kemampuan SDM untuk mengoperasikan dan memelihara sistem dilakukan pada tahap perencanaan karena diharapkan bisa terjadi interaksi langsung antar pengguna dan pengembang. Sisi positif lainnya adalah pada tahap alih kelola nantinya diharapkan tidak lagi sulit tercipta budaya kerja yang baru bagi semua personal yang terlibat. Kecepatan perubahan TI dan aplikasinya pada sistem dan proses internal suatu organisasi akan menjadi terhambat jika SDM tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk mengoperasikan teknologi dan sistemnya. Maka disini penulis sangat menyarankan agar pada tahap awal persiapan implementasi Teknologi Informasi segera dimulai dengan membenahi SDM terlebih dahulu. Usaha-usaha untuk menumbuhkan perasaan butuh dan suka di dalam para pemimpin, pustakawan, dan lain-lain di lingkungan internal PNRI harus dijalankan. Karena kita semua tahu bahwa pekerjaan berkaitan langsung dengan manusia adalah pekerjaan yang membutuhkan waktu yang tidak singkat, akan tetapi hampir dapat dipastikan jika sudah berhasil maka implementasi TI akan jauh lebih mudah dan sukses. Untuk itu SDM di PNRI harus diberi metode pengenalan dan pembelajaran secara tepat dalam formulasi yang sejalan dengan tahapan implementasi sistem TI tersebut. Langkah Mudah dan Sederhana dalam Pembentukan SDM dengan TI Menciptakan, memelihara dan memutakhirkan kemampuan SDM tidak selalu harus mahal, rumit dan sampai mengorbankan banyak waktu kerja, misalnya karena harus selalu berbentuk pelatihan, konferensi, seminar dan semisalnya. PNRI dapat melakukan banyak hal untuk dapat meningkatkan kemampuan SDM-nya dengan memanfaatkan fasilitas TI yang murah, sederhana, bahkan kemungkinan besar sebetulnya sudah dimiliki oleh PNRI. &nb sp; &nb sp; Yang pertama tentu saja mengoptimalkan Internet. Pengetahuan tentang berbagai hal dapat dibangun dengan cara menjelajah berjuta-juta website, menonton video tutorial, dan lain sebagainya yang ada di Internet. Mailing list serta forum fasilitas diskusi di Internet dapat kita ikuti sesuai dengan kesukaan dan kebutuhan kita masing-masing. Bahkan semua fasilitas Internet yang sangat banyak itu dapat dengan mudah dipilah dengan adanya fasilitas mesin pencari. Internet dapat dianggap sebagai sumber informasi yang sangat besar. Bidang apa pun yang diminati, bisa dipastikan tersedia informasinya di Internet. Para pegawai dapat mengakses secara online dari berbagai tempat untuk mendapatkan sumber primer tentang berbagai info perkembangan dunia dan teknologi dalam hitungan detik. Walaupun harus diakui di awal akan terjadi kesulitan dan kebingungan serta kemungkinan disertai penggunaan yang kurang tepat dari Internet, tapi lama kelamaan apabila diberi tuntunan dan aturan yang tegas para pegawai akan dapat terbiasa menggunakan Internet secara tepat dan bijak. Cara yang perlu dicoba adalah mengkondisikan agar seluruh pegawai mau tidak mau harus menggunakan Internet, seperti memberikan pengumuman dan koordinasi berkaitan dengan organisasi melalui email atau website, dan lain sebagainya. Para pustakawan di PNRI dapat diberi fasilitas akses ke internet dan mencoba sendiri satu-persatu fiturnya, seperti voice chat, video conference, VOIP dan lain-lain sehingga mereka dapat merasakan manfaat secara langsung untuk kegiatan pribadinya. Jika hal ini terealisasi dan berjalan lancar, maka dapat dipastikan kendala antipati terhadap TI sudah bukan masalah lagi. Selain itu untuk keperluan pembelajaran bisa menggunakan media e-Learning yang bisa diimplementasikan dengan resource yang sangat sederhana bahkan semuanya bisa dikatakan sudah tersedia di PNRI, adapun komponen-komponen yang membentuk e-Learning adalah: 1. Infrastruktur e-Learning: Infrastruktur e-Learning dapat berupa Personal Computer (PC), jaringan komputer, intranet, Internet dan perlengkapan multimedia. Termasuk didalamnya peralatan teleconference apabila diharapkan ingin menghadirkan layanan synchronous learning melalui teleconference. 2. Sistem dan Aplikasi e-Learning: Sistem perangkat lunak yang mem-virtualisasi proses belajar mengajar konvensional. Bagaimana manajemen kelas, pembuatan materi atau konten, forum diskusi, sistem penilaian, sistem ujian online dan segala fitur yang berhubungan dengan manajemen proses belajar mengajar. Sistem perangkat lunak tersebut sering disebut dengan Learning Management System (LMS). LMS banyak yang open source sehingga dapat diterapkan dengan cepat, murah dan sangat fleksibel, beberapa diantaranya adalah Moodle, Atutor, Claroline, dan lain-lain. 3. Konten e-Learning: Konten dan bahan ajar yang ada pada e-Learning system (Learning Management System). Konten dan bahan ajar ini bisa dalam bentuk Multimedia-based Content (konten berbentuk multimedia interaktif) atau Text-based Content (konten berbentuk teks seperti pada buku pelajaran biasa). Biasa disimpan dalam Learning Management System (LMS) sehingga dapat dijalankan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Saat ini berbagai macam materi bisa didapat dari berbagai tempat, yang paling mudah tentunya adalah dengan mengunduh (download) dari Internet, seperti materi-materi IlmuKomputer.com yang bisa diperoleh secara gratis. Setelah proses pembelajaran secara konvensional ataupun menggunakan e-Learning berjalan, maka selanjutnya metode yang sangat besar manfaatnya jika dapat dikembangkan adalah sistem belajar terpadu dan pengelolaan pengetahuan di lingkungan PNRI melalui Knowledge Management (KM). Pengetahuan, atau informasi yang sudah diolah, merupakan alat yang dapat membantu organisasi dalam mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan operasionalnya. Pengetahuan ini bisa dikendalikan. Untuk itu, organisasi perlu mencari, menciptakan, dan mempertahankan SDM yang memiliki ataupun yang dapat membuka akses untuk memperoleh informasi tepat yang diperlukan. Jika informasi sudah diperoleh, organisasi perlu mengelolanya sedemikian rupa sehingga dapat digunakan bersama oleh orang-orang yang tepat agar hasilnya juga optimal. Tentunya dipilih praktik-praktik Knowledge Management yang sederhana agar mudah digunakan oleh berbagai tingkatan pengguna. Misalnya membiasakan para pegawai untuk mengatur dan merapikan bermacam berkas yang sudah diunduh dari berbagai situs, membuat kategori yang baik, dan memasukkan ke file sharing dalam jaringan lokal agar dapat dimanfaatkan bersama-sama. Praktik lainnya adalah membiasakan seluruh pegawai PNRI untuk menulis segala pengalaman, informasi penting, atau pengetahuan di dalam wiki internal yang dapat menggunakan bermacam-macam aplikasi wiki gratis yang termasuk FOSS, seperti TikiWiki, DokuWiki, MediaWiki[, dan lain-lain. Atau membiasakan kepada para pegawai untuk menulis dan berbagi ilmu melalui media blog yang saat ini sedang populer. Masalah berbagai pengetahuan dalam suatu organisasi saat ini menjadi suatu isu penting baik di bidang bisnis maupun non-bisnis, karena bisa dikatakan semua kegiatan manusia sesungguhnya adalah kegiatan berorganisasi. Tidak ada kegiatan yang akan berjalan lancar, jika tidak ada pengorganisasian yang baik, dan tidak ada manfaat atau keuntungan yang bisa diperoleh, jika sebuah organisasi tidak berjalan dengan baik. Dan setiap organisasi memiliki anggota, dimana masing-masing anggota bekerja berdasarkan pengetahuannya, maka mengelola pengetahuan akhirnya adalah mengelola anggota-anggota itu artinya mengelola manusia juga adanya. Dengan KM yang tepat, organisasi bisa mengembangkan teknologi canggih yang dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh para pimpinan di bagian atas dari organisasi untuk keperluan strategis, tetapi juga oleh seluruh organisasi. Selain itu efek samping positifnya adalah turnover pegawai di lingkungan PNRI tidak lagi akan signifikan mengganggu kegiatan bisnis dan organisasi, karena bisa di-backup oleh pegawai yang lain. Jadi, KM dapat memperlancar information sharing dalam organisasi, yang pada akhirnya dapat menumbuhkan budaya inovasi, pembelajaran yang berkelanjutan dan peningkatan kualitas dari SDM organisasi. Knowledge management memungkinkan terjadinya information sharing, sehingga penyebaran pengetahuan dapat menjadi lebih cepat dan merata di seluruh pegawai PNRI. Membangun Customer Focused Bisnis Budaya membangun service culture pada pelanggan internal sudah seharusnya menjadi tujuan perusahaan yang ingin customer focus. Membangun service culture ini tidak cukup hanya melalui pelatihan-pelatihan singkat, apalagi yang dilakukan sesaat menjelang adanya kontes kepuasan pelanggan. Pada awalnya, pendekatan top down merupakan cara yang efektif dalam membangun service culture ini. Artinya, kesadaran dan contoh teladan harus datang dari pucuk pimpinan, disemaikan ke bawah dengan berbagai media penyampaian. Membangun service culture ini harus dipandang sebagai sesuatu yang stratejik sifatnya. Oleh karena itu, dorongan dari atas akan sangat efektif. Baru setelah mulai berjalan, empowerment of employees menjadi tahap berikutnya. Memberikan keleluasaan pada karyawan pada batas tertentu akan mendorong karyawan berkreasi dalam memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan. Dari dua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa membangun service culture bukanlah upaya instan yang akan memberikan hasil instan pula. Ini yang penting disadari. Service culture harus dibangun dalam tubuh perusahaan secara keseluruhan. Tidak hanya pada frontliners. Banyak service provider yang mengira dengan melatih para frontliners agar dapat memiliki budaya melayani, berarti tugasnya sudah selesai. Padahal, para fronliners ini tidak mungkin dapat melakukan tugasnya dengan baik tanpa adanya dukungan dari back office yang juga memiliki orientasi yang sama. Satu hal yang rasanya perlu dicermati oleh para service provider saat ini, sebagai contoh industri telekomunikasi, yaitu: adanya pola outsource karyawan, terutama karyawan yang menjadi garda terdepan perusahaan. Dengan pola ini, di satu sisi memang perusahaan dapat mencapai efisiensi yang diinginkan, namun di sisi lain ada risikonya. Karyawan ousource ini belum tentu dapat menghayati nilai-nilai perusahaan, apalagi memahami secara utuh service culture yang dibangun oleh perusahaan. Akibatnya, service delivery-nya belum tentu optimal, atau dengan kata lain, belum mencapai standar kualitas yang telah ditetapkan. Inilah yang terkadang merupakan salah satu sebab dari timbulnya over promise-under delivery. Membangun service culture perlu didukung dengan pola reward dan punishment yang jelas dan memadai. Menuntut karyawan memiliki budaya melayani tanpa adanya penghargaan yang baik, tidak akan efektif. Karyawan hanya akan menjadi mediocre, melayani seadanya dan secukupnya, karena memang kurang termotivasi. Customer focus bukanlah suatu retorika, yang hanya dicanangkan untuk mencapai tujuan sesaat. Customer focus sesungguhnya adalah nadi suatu perusahaan, yang denyutnya harus terasa terus selama perusahaan hidup dan berkembang &nb sp; &nb sp; Value Chain & Strategic Informastion System Tingginya tingkat persaingan bisnis menuntut perusahaan untuk meningkatkan strategi dalam memenangkan persaingan. Untuk itu perusahaan dapat menggunakan strategi pembenahan kondisi internal perusahaan. Analisis Rantai Nilai (Value Chain Analysis) dengan dukungan Analisis Metode Jalur Kritis (Critical Path Method) merupakan instrumen yang tepat untuk melakukan analisis kondisi internal perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Lapangan (Field Research) berupa Pengamatan Langsung (Observation), Wawancara (Interview) dan Penelitian Kepustakaan (Library Research). Metode analisis yang digunakan yaitu : Analisis Lima Kekuatan Bersaing Porter, Analisis SWOT (Strength Weakness Opportunities Threat) dan Analisis Rantai Nilai. Hasil analisis menunjukkan bahwa PT. Tristara Makmur perlu membenahi kondisi internal perusahaan khususnya pada pemanfaatan Teknologi Sistem Informasi yang lebih tepat guna. Dapat disimpulkan bahwa PT. Tristara Makmur sudah memiliki strategi dalam menjalankan proses bisnisnya, namun perusahaan memerlukan dukungan Teknologi Informasi agar mampu menggunguli para pesaingnya. Re-engineering Bussiness Process Fenomena yang belakangan ini melanda dunia bisnis adalah makin pentingnya peran konsumen serta keragaman keinginan konsumen yang menuntut fleksibilitas yang tinggi bagi pelaku bisnis. Belum lagi fenomena perubahan lingkungan yang berlangsung sangat cepat dan permanen (selalu berubah). Hal-hal tersebut di atas menuntut suatu pendekatan baru dalam penataan manajemen bisnis yang sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang selama ini dilakukan oleh pelaku bisnis. Business Process Reengineering menawarkan solusi terhadap semua masalah di atas dengan memanfaatkan semua informasi yang didapat di antaranya melalui eTOM. Menurut Hammer BPR adalah “The fundamental analysis and radical redesign of business processs to achieve dramatic improvement in critical measures of performance”. Dengan cara ini diharapkan akan terjadi peningkatan performansi yang luar biasa ditinjau dari aspek kecepatan, mutu,biaya dan pelayanan. Menciptakan perusahaan virtual Banyak perusahaan baik cinta untuk memiliki peralatan atau mereka membeli karena mereka tidak tahu ada pilihan lain. Masalah dengan peralatan yang memiliki (ini termasuk hardware, software, ruang kantor, meja, dll) adalah meningkatkan penghalang untuk berubah. Jika Anda telah membeli sejumlah besar peralatan (konsultan cinta untuk merujuk kepada hal ini sebagai investasi) anda terpaksa harus menggunakannya karena Anda dibayar untuk itu. Saya telah melihat perusahaan yang tak terhitung jumlahnya terjebak dengan peralatan yang tidak memenuhi kebutuhan mereka, tetapi mereka tetap menggunakannya. Mengapa menghabiskan uang modal bahwa pelanggan Anda tidak menghargai? Perusahaan kami telah ada sejak tahun 1992, tapi kami mengubah strategi kami dengan mengembangkan lini bisnis baru dan kita perlu darah baru untuk mendukung lini bisnis ini. Kami sedang menghabiskan sumber daya kami (konsultan berbicara untuk membelanjakan uang) kita membangun mitra dan basis pelanggan. Segala sesuatu yang adalah pelanggan atau mitra nilai yang kita bayarkan uang. Jika tidak dihargai, itu memang keras menjual dalam perusahaan kami. Aku heran melihat betapa murah itu adalah dengan menjalankan perusahaan virtual. Kami tidak membeli server, ruang kantor untuk staf baru, perangkat lunak mahal, dll Sebagian besar orang bekerja kita keluar dari rumah dan kami sewa atau berlangganan ke perangkat lunak yang kami butuhkan. Jika kita tidak seperti perangkat lunak, biaya switching kami relatif rendah. Aku akan mengatakan bisnis kita tidak yang kompleks (Saya rasa beberapa bisnis yang tidak perlu kompleks) sehingga kami dapat bertahan dengan perangkat lunak sederhana. aku bisa pergi terus-menerus tentang manfaat, tapi saya pikir artikel berikut melakukan pekerjaan besar menjelaskan konsep. Tidak ada gunanya re-inventing kemudi. The Knowledge-Creating Company Central Tema: Pengetahuan penciptaan adalah proses membuat pengetahuan tacit eksplisit. Pengetahuan Tesis mereka adalah bahwa Jepang dan masyarakat Barat dan perusahaan telah mengembangkan pemahaman yang berbeda tentang apa artinya untuk belajar dan berinovasi, tapi jalan ke depan adalah melalui sebuah sintesis dari kedua gaya. Pengetahuan adalah diambil sebagai dasar untuk apa sebuah organisasi tidak, tapi itu penting untuk mengetahui bahwa pengetahuan dapat menciptakan sama pentingnya dengan pengetahuan pengolahan. Sebuah Ide kuncinya adalah bahwa pengetahuan adalah diam-diam (yaitu, diinternalisasi) dan lainnya adalah eksplisit. Filsafat Barat digambarkan memiliki berjuang untuk memahami apakah pengetahuan adalah didasarkan pada apa yang kita alami (empirisme) atau melekat kebenaran (rasionalisme), dan memiliki fokus lebih banyak pada pengetahuan eksplisit. Pikir Jepang cenderung memperlakukan pengetahuan diam-diam lebih penting (tetapi tidak benar-benar ditujukan epistemologi sebagai tradisi filsafat). “Kutipan Peter Drucker (Post-Capitalist Society, hal 24), mengatakan: “suatu keterampilan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, baik lisan atau tertulis”. Itu hanya bisa ditunjukkan. Dan, satu-satunya cara untuk belajar techne [keterampilan, dalam bahasa Yunani] adalah melalui magang dan pengalaman." Penciptaan pengetahuan adalah proses membuat pengetahuan tacit eksplisit. Contoh dari Honda "Tall Boy" (mobil baru gaya yang bergerak menjauh dari pandangan sedan) menunjukkan bagaimana hal ini bisa terjadi. Pertama, metafora dan analogi digunakan untuk membantu memberikan suatu kerangka kerja untuk berpikir tentang hal-hal yang tidak dapat dengan mudah dijelaskan."Dengan demikian, metafora sangat efektif dalam mendorong komitmen langsung kepada proses kreatif pada tahap awal penciptaan pengetahuan." ( "Kontradiksi yang melekat dalam sebuah metafora yang kemudian diselaraskan dengan analogi.") Kedua, pengetahuan bergerak dari seorang individu untuk suatu organisasi ; tim bersama menyediakan konteks dan banyak sudut pandang. Akhirnya, ambiguitas dan redundansi yang digunakan: ambiguitas memungkinkan banyak hal yang sesuai dalam kerangka; redundansi memungkinkan kelompok mengeksplorasi banyak aspek sebelum memutuskan arah mana harus pergi. Para penulis menganggap teori-teori pembelajaran Bateson, dan Argyris dan Schon: satu putaran pembelajaran dan double-loop learning. "Dari sudut pandang kami, penciptaan pengetahuan pasti melibatkan interaksi antara kedua jenis belajar, yang membentuk semacam spiral dinamis . Nonaka dan Takeuchi yang tidak terpesona oleh Senge sistem pembelajaran; mereka pikir itu tidak lepas dari sudut pandang Cartesian. Ada dua dimensi penting dalam teori penciptaan pengetahuan organisasi: dimensi epistemologis - apakah pengetahuan diam-diam atau eksplisit - dan dimensi ontologis - apakah itu diketahui pada individu, kelompok, organisasi, atau organisasi antar-tingkat. Pengetahuan adalah tentang kepercayaan dan komitmen, tentang tindakan, dan tentang makna. Filsafat Barat mempunyai perumusan "pengetahuan adalah dibenarkan, keyakinan yang benar" dan telah berfokus pada kebenaran apa yang berarti. Para penulis melihat "dibenarkan keyakinan" bagian sebagai bagian penting. Pengetahuan konversi (antara eksplisit dan diam-diam) adalah bagian penting dari pekerjaan sosial berbagi pengetahuan. Ada empat mode kunci: Dari Ke Pengetahuan diam-diam Pengetahuan eksplisit pengetahuan diam-diam 1. 1. Socialization Sosialisasi "Bersimpati pengetahuan": Berbagi pengalaman untuk menciptakan pengetahuan diam-diam. Contoh: berinteraksi dengan pelanggan. 2. 2. Externalization Eksternalisasi "Pengetahuan konseptual": Artikulasikan pengetahuan tacit secara eksplisit: metafora, konsep, hipotesis, model, menulis. Pengetahuan eksplisit 4. 4. Internalization Internalisasi "Operasional pengetahuan": Belajar dengan melakukan, untuk mengembangkan model mental dan berbagi pengetahuan teknis. 3. 3. Combination Kombinasi "Sistemik pengetahuan": Memanipulasi pengetahuan eksplisit oleh menyortir, menambahkan, penggabungan, dll Contoh: pendidikan formal. Akibat dari semua ini adalah (atau bisa) pengetahuan spiral. Hal ini didukung dengan menggunakan dialog untuk berpindah dari sosialisasi kepada eksternalisasi dengan menghubungkan pengetahuan yang eksplisit untuk berpindah dari eksternalisasi untuk kombinasi untuk berpindah dari kombinasi untuk internalisasi, dan membangun lapangan untuk berpindah dari internalisasi untuk sosialisasi. Perhatikan bagaimana bergerak bolak-balik antara eksplisit dan diam-diam, dan bagaimana hal itu dapat meningkatkan tingkat (individu untuk kelompok dan seterusnya). Semua ini tidak terjadi secara tidak sengaja, ada kondisi di tingkat organisasi yang dapat mempromosikannya: * Niat: aspirasi untuk tujuan, mengembangkan komitmen dengan melibatkan karyawan dalam pertanyaan mendasar. * Otonomi: membiarkan orang bertindak independen sejauh mungkin. * Fluktuasi dan kreatif kekacauan: untuk merangsang interaksi antara organisasi dan lingkungan luar; ada rincian yang harus diatasi, diikuti dengan refleksi tentang apa yang terjadi. (Fluktuasi tanpa refleksi mengarah pada kekacauan yang merusak.) * Redundansi: "adanya informasi yang melampaui persyaratan operasional langsung dari anggota organisasi." * Diperlukan berbagai: berbagai organisasi itu harus melebihi dari lingkungannya. Memerlukan sama, akses cepat ke informasi. |